Rabu, 20 Mei 2009

Anak Indonesia Rentan Pengaruh Pornografi

Anak-anak dilahirkan dalam kondisi suci. Orang tualah yang anntinya membentuk anak, akan seperti apa. Baik dan buruknya anak, tergantung orang tuanya. Barisan kalimat di atas adalah benar adanya. Peran orang tua dalam mendidik dan membimbing anak sangat urgen dan tak bisa tidak, sangat menentukan keberadaan anak tersebut di masa akan datang. Kenyataannya, peran orang tua dewasa ini semakin berat. Betapa tidak. Hantaman era globalisasi telah menafikan aturan yang melarang anak untuk tidak secepatnya mengenal yang namanya pornografi atau pornoaksi. Di berbagai media, baik itu elektronik maupun cetak, tayangan dan gambar yang mengandung unsur pornografi 'bergentayangan' tak kenal lelah menghantui anak-anak. Berdasarkan catatan sebuah lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Aliansi Selamatkan Anak (ASA) Indonesia, selain menjadi negara tanpa aturan jelas tentang pornografi, Indonesia juga mencatat rekor sebagai negara kedua setelah Rusia yang paling rentan penetrasi pornografi terhadap anak-anak. Kondisi seperti itu, sebenarnya telah pula ditangkap Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Lewat beberapa kali penelitian dan survey di lapangan, terkuak kenyataan di lapangan yang mengetengahkan gambaran kehidupan anak-anak Indonesia menjelang remaja, salah satunya adalah kegemaran coba-coba untuk urusan seks. Salah satunya adalah hasil peneltian di Provinsi Jawa Barat, di mana dari 2.880 remaja yang disurvey BKKBN usia 15-24 tahun, sedikitnya 40 persen mengaku pernah berhubungan seks sebelum nikah. Tak hanya sampai di situ. Survey juga mencatat sedikitnya remaja usia 15-19 tahun hampir 60 persen diantaranya pernah melihat film porno dan 18,4 persen remaja putri mengaku pernah membaca buku porno. Data terakhir ini diperoleh dari peneltian oleh sejumlah mahasiswa di Universitas Airlangga terhadap 300 responden. Sayangnya, banyak orang tua yang kadangkala kecplongan soal kegemaran anak-anak mereka yang menjelang remaja ini terhadap pornografi. Masih berdasarkan data terbaru, 25 persen anak-anak bahkan menonton film porno di rumah sendiri, 22 persen di rumah teman dimana materinya didapat dari VCD rental di sekitar rumah. Lebih parah lagi, kecanggihan teknologi telepon selular telah pula dirambah pornografi. Beberapa penyelidikan bahkan diketahui soal gambar porno yang sampai ke telepon selular atau handphone anak-anak SD. Bahaya lain yang mengancam anak-anak adalah keberadaan situs porno. Inke Maris dari ASA Indonesia mengutip hasil penelitian di Amerika bahwa setidaknya ada 28 ribu situs porno di internet pada 2000 sementara tiap pekannya hadir 2 ribuan situs porno baru. Malangnya, di Indonesia, situasi sedemikian tidak segera ditanggapi oleh pihak berwrnang, yakni pemerintah. Hal itu bisa dilihat dari tidak adanya regulasi yang jelas mengenai pornografi dan pornoaksi serta hukumnya. (008)

Kependudukan dan Kemiskinan

***Dalam buku Visi Indonesia 2030 yang diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun lalu, diharapkan Indonesia akan menjadi negara maju dan sejahtera dengan beberapa pencapaian utama yakni tingkat pendapatan per kapita penduduk sebesar 18.000 dolar AS. Sedikitnya 30 perusahaan besar Indonesia masuk daftar 500 perusahaan besar dunia, pertumbuhan ekonomi riil sebesar 7,62 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata hanya 1,12 persen per tahun. Mungkin target-target selama 21 tahun ke depan ini masih agak sulit terealisasi. Salah satu aspek yang masih membuat pencapaian target-target tersebut terganjal adalah masih tingginya jumlah penduduk miskin di Indonesia. Hal tersebut juga ditunjukkan dari tren kenaikan jumlah penduduk miskin selama beberapa dekade ini. Keberadaan penduduk miskin yang dianggap sebagai beban bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan masih belum menunjukkan penurunan yang signifikan. Sebagai gambaran, pada 1984 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai angka 35 juta jiwa. Jumlah penduduk miskin kemudian menurun pada tahun 1993 menjadi 25,9 juta jiwa dan melejit hingga angka 49,5 juta jiwa 1998 (pada masa krisis ekonomi) sampai kembali stabil di angka 35,68 juta jiwa di tahun 2002. Program penanganan permasalahan kemiskinan pada dasarnya hams berpulang kepada esensi dasar permasalahan kemiskinan. Kemiskinan di satu sisi dipandang sebagai dampak permasalahan ekonomi makro, pertikaian politik, konflik sosial di masyarakat, dan lain-lain. Namun di sisi lain kemiskinan pada dasamya juga merupakan permasalahan kependudukan. Philip Hauser menganggap kemiskinan tercipta dari tidak optimalnya tenaga kerja dalam bekerja dikarenakan adanya ketidakcocokan antara pendidikan dan pekerjaan yang ditekuni. Hal ini disebabkan oleh tingginya jumlah penduduk yang masuk ke pasar kerja sehingga memaksa pencari kerja untuk mendapatkan pekerjaan secepat-cepatnya walaupun tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya akibat ketatnya persaingan dalam mencari kerja. Tinggi rendahnya jumlah penduduk dipengaruhi oleh proses demografi yakni; kelahiran, kematian, dan migrasi. Tingkat kelahiran yang tinggi sudah barang tentu akan meningkatkan tingkat pertumbuhan penduduk. Namun, tingkat kelahiran yang tinggi di Indonesia kebanyakan berasal dari kategori penduduk golongan miskin. Selain meningkatkan beban tanggungan keluarga, anak yang tinggal di keluarga miskin sangat terancam kondisi kesehatannya akibat buruknya kondisi lingkungan tempat tinggal dan ketidakmampuan keluarga untuk mengakses sarana kesehatan jika anak mengalami sakit. Hal yang sama juga dialami ibu hamil dari keluarga miskin. Buruknya gizi yang diperoleh semasa kehamilan memperbesar resiko bayi yang dilahirkan tidak lahir normal maupun ancaman kematian ibu saat persalinan. Maka dari itu infant mortality rate (tingkat kematian bayi) dan maternal mortality rate (tingkat kematian ibu) di golongan keluarga miskin cukup besar. Tingkat kematian merupakan indikator baik atau buruknya layanan kesehatan di suatu negara. Tingkat kematian penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia, masih didominasi golongan penduduk miskin. Masalah migrasi juga memicu pertambahan penduduk secara regional. Salah satu contohnya adalah kasus Pulau Jawa. Pulau Jawa luasnya hanya 7 persen dari total luas wilayah nasional namun penduduk yang berdiam di Jawa adalah 60 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Kesenjangan antar pulau ini menyebabkan munculnya kemiskinan baik di pulau-pulau luar yang tidak berkembang maupun di Pulau Jawa sebagai akibat ketidakmampuan mayoritas penduduk pendatang maupun lokal yang kalah bersaing dalam mendapatkan penghidupan yang layak. Era otonomi daerah telah membuka kesempatan bagi setiap daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya tanpa ikut campurnya pemerintah pusat dalam tata pemerintahan. Terlepas dari gejolak politik yang timbul, ternyata masalah kependudukan masih dipandang sebelah mata dan kalah prioritas dibandingkan dengan pembangunan ekonomi. Di satu sisi otonomi daerah bisa mendorong putra daerah untuk mengembangkan daerahnya, namun disisi lain kepentingan daerah terkadang mengesampingkan aspek kependudukan dalam pembangunan. Sebagai contoh, beberapa badan yang mengurusi masalah pengendalian penduduk yakni BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) yang terdapat di daerah telah dilebur menjadi unit-unit kecil di dalam departemen yang tidak mengurusi masalah ini secara langsung seperti Departemen Sosial atau Departemen Kesehatan. Program penanganan kemiskinan melalui kebijakan kependudukan dapat menjadi salah satu alternatif bagi pengentasan kemiskinan. Salah satu contoh penerapan kebijakan kependudukan bagi pengentasan kemiskinan adalah dengan pencanangan KB (Keluarga Berencana) dengan cara penyediaan kontrasepsi gratis bagi keluarga miskin. Hal ini dapat secara signifikan menurunkan tingkat kelahiran di keluarga miskin sehingga program penanganan kemiskinan yang dilakukan setelahnya dapat berjalan lebih optimal dan terasa. Pemerintah daerah dapat menghemat dana program penanganan kemiskinan dengan mengalokasikannya ke kampanye penggunaan alat kontrasepsi (misalnya). Selain itu pemerintah daerah akan menjadi lebih fokus terhadap kelompok rumah tangga miskin yang sudah bisa mengendalikan tingkat kelahiran mereka. Beban tanggungan mereka yang berupa anak akan menjadi lebih sedikit, sehingga program penanganan kemiskinan akan lebih terasa dan bermakna untuk pengembangan mereka. Sumber: dikutip dari Riau Pos.(na)